Dalam pekerjaan sehari-hari, kita sering mendengar tentang tender. Perusahaan atau instansi yang membutuhkan jasa pihak lain, akan melakukan tender untuk mendapatkan penawaran yang kompetitif. Jenis pekerjaan yang ditenderkan bisa beragam, dari pengadaan barang, proyek bangunan, pekerjaan maintenance sampai pada penyediaan tenaga kerja. Bagi para engineer, tender yang paling sering ditemui tentunya tender pekerjaan engineering dan pekerjaan konstruksi. Tulisan ini akan membahas tentang pola kerja dan strategi kontraktor dalam menyusun proposal tender, terutama dalam mengantisipasi resiko pekerjaan.
Menyusun penawaran tender adalah bagian pekerjaan yang penting dan juga kritis bagi kontraktor. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, mereka harus me-review banyak hal dan mengambil berbagai keputusan beresiko untuk menentukan besarnya penawaran tender. Penawaran ini, bila menang, akan mengikat kontraktor untuk menyelesaikan lingkup pekerjaan sebagaimana dijabarkan dalam kontrak.
Sebagai gambaran, untuk menyusun proposal tender proyek konstruksi, kira – kira daftar pekerjaan kontraktor akan seperti ini :
- memahami scope of work dan kondisi kontrak
- membaca spesifikasi material / pekerjaan dari setiap bagian konstruksi
- melakukan site visit untuk memahami kondisi lokasi
- menghitung seluruh quantity pekerjaan dari gambar tender ( civil, steel structures, piping, mechanical, E/I, architectural, pipelines )
- meminta penawaran harga dari supplier / subkontraktor
- membuat review tentang metode konstruksi yang akan digunakan
- membuat review tentang resources yang diperlukan
- menganalisa harga satuan setiap pekerjaan
- menyusun schedule pekerjaan, untuk dibandingkan dengan jangka waktu penyelesaian proyek yang diminta oleh Client.
Dari kegiatan di atas akan didapat estimasi basic cost dan schedule dari proyek yang ditenderkan.
Pada saat yang bersamaan, kontraktor juga melakukan risk analysis :
- identifikasi resiko yang ada dalam draft terms & conditions of contract
- identifikasi resiko yang akan dihadapi selama pelaksanaan kerja
- menganalisa resiko yang bisa dihindari / ditransfer ke pihak lain.
- menganalisa resiko yang harus dikendalikan oleh kontraktor, bagaimana pengaruhnya terhadap schedule dan biaya proyek. Berapa besar contingency biaya / waktu yang harus ditambahkan ke basic cost / schedule untuk mengantisipasi resiko tersebut.
Bagi kontraktor yang telah menggunakan metode manajemen terkini, mereka menghitung contingency dengan bantuan program simulasi komputer - Monte Carlo. Menggunakan metode probabilitas yang ilmiah, simulasi ini akan mengolah berbagai variabel resiko
yang diberikan oleh tim ahli dari kontraktor. Sebagai hasilnya akan didapat grafik kurva S antara “% probabilitas vs biaya proyek” atau “% probabilitas vs waktu proyek”. Biaya proyek sebagai hasil dari simulasi Monte Carlo adalah perkiraan biaya yang sudah memperhitungkan input resiko pekerjaan.
Jika untuk penawaran tender, manajemen kontraktor ingin berpatokan pada biaya proyek dengan tingkat keyakinan / probabilitas sebesar 75% atau 80%, maka biaya yang dimaksud bisa di plot dari grafik. Perbedaan antara biaya proyek tersebut dengan basic cost, akan menjadi contingency biaya. Demikian juga untuk menghitung contingency waktu.
Kontraktor yang tidak menggunakan simulasi Monte Carlo, akan menentukan besaran contingency berdasarkan pengalaman di proyek – proyek sejenis yang telah sukses dilaksanakan sebelumnya.
Diluar analisa – analisa di atas, masih ada pertimbangan lain seperti : payment terms, perkiraan cash flow proyek, biaya bank / asuransi, fee kantor pusat di luar negeri, margin yang diharapkan, dst.
Setelah menganalisa semua masukan di atas, akhirnya manajemen kontraktor sampai pada satu keputusan krusial : “ajukan penawaran tender dengan nilai USD xxx juta, dengan kondisi bla bla bla”.
Dalam uraian dibawah ini, bahasan dibatasi pada langkah-langkah yang dilakukan oleh kontraktor untuk meng-antisipasi resiko pekerjaan.
Risk Response Strategy
Umumnya Kontraktor akan melakukan langkah berikut untuk mengantisipasi dan mengakomodasi resiko dalam proposal tender :
1. Identifikasi barricade risk
2. Identifikasi resiko yang dapat di-asuransi-kan
3. Identifikasi resiko yang dapat dialihkan ke pihak lain ( non insurance )
4. Identifikasi resiko yang akan ditanggung kontraktor
1. Identifikasi Barricade Risk
Yang dimaksud dengan barricade risk adalah resiko yang terlalu besar, bahkan bagi kontraktor berpengalaman sekalipun. Kontraktor perlu meneliti draft dokumen kontrak untuk melihat apakah ada contractual barricades di dalamnya.
Tergantung situasinya, terdapat berbagai barricade risks. Beberapa diantaranya adalah :
- unlimited liability
- full risk for unforeseen ground condition
- massive liquidated damages
1.1 Unlimited liability
Limit of Liability adalah klausul yang mengatur tentang besarnya tanggung jawab kontraktor terhadap hal-hal berikut :
- Jika ditemui defect terhadap lingkup pekerjaannya ( design, konstruksi, plant performance )
- Jika terjadi damage / loss terhadap existing plant ( bila ada )
- Jika terjadi damage / loss / injury terhadap pihak ketiga
Umumnya Client telah mengambil alih resiko tersebut di atas melalui mekanisme asuransi. Dengan adanya perlindungan asuransi ini, maka Kontraktor tidak akan dituntut untuk menanggung kerugian secara penuh.
Sebagai contoh, dengan konsep pengalokasian resiko seperti diatas, salah satu kontrak EPC menetapkan batasan tanggung jawab ( limit of liability ) kontraktor sebagai berikut :
- untuk pekerjaan design : tanggung jawab tidak terbatas / unlimited liability
- untuk works and installations : maksimum liability adalah 10% dari nilai kontrak
- overall limit of liability ditetapkan maksimum 15% dari nilai kontrak, batasan ini tidak berlaku untuk pekerjaan design.
Tentunya, besaran limit of liability akan berbeda dari satu kontrak dengan kontrak yang lain.
Seandainya klausul dalam draft kontrak menyatakan tanggung jawab kontraktor adalah tidak terbatas / unlimited liability, maka klausul ini tergolong barricade risk. Resikonya sangat besar, terutama bila proyek yang dikerjakan berupa perluasan dari fasilitas yang sudah beroperasi. Bayangkan bila terjadi accident fatal, yang merusak existing plant dan menyebabkan Client tidak bisa berproduksi. Bila tidak diberi batasan, nilai tuntutan ganti ruginya bisa lebih besar daripada nilai kontrak.
Bila menemui klausul seperti ini, biasanya para kontraktor peserta tender akan membuat “paduan suara” agar liability ini dibatasi. Bila Client tidak bersedia merubah kondisi ini, umumnya para kontraktor akan menyatakan mundur. Tapi kadang ada saja kontraktor yang tetap mengajukan penawaran. Bila menang tender, kontraktor tersebut harus siap menanggung resikonya bila something goes wrong.
1.2 Full Risk for Unforeseen Ground Condition
Dalam dokumen tender, biasanya Client melampirkan hasil penyelidikan tanah sebagai referensi bagi para kontraktor. Kontraktor biasanya juga diminta melakukan site visit untuk memahami kesulitan lokasi.
Jika draft kontrak mengatakan bahwa :
- Client menyediakan data tanah ; dan
- Kontraktor melakukan site survey
kemudian seluruh resiko berkenaan dengan pekerjaan tanah ditanggung oleh kontraktor, maka klausul seperti ini juga tergolong barricade risk.
Site survey mungkin hanya 3-4 hari, seberapa jauh investigasi yang bisa dilakukan oleh kontraktor dalam waktu sesingkat itu ?.
Kontraktor perlu bernegosiasi dengan Client agar contractual barricade ini dirubah. Misalnya, mengusulkan perubahan kondisi klausul yang kira-kira seperti ini : “Untuk keperluan pelaksanaan proyek, Kontraktor akan :
- memeriksa kondisi lokasi kerja dan lingkungannya
- sepenuhnya bersandar kepada akurasi data yang disediakan Client
- bertanggung jawab untuk meng-interpretasi dengan benar data yang diberikan oleh Client
- seandainya data yang disediakan Client tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan dan berdampak terhadap biaya / waktu pelaksanaan kerja, maka Kontraktor akan berhak untuk mengajukan variation works.”
Seberapa penting-kah proteksi terhadap unforeseen ground condition ini ?
Di salah satu proyek yang saya tahu, konsorsium kontraktor men-subkontrak pekerjaan shallow offshore pipelines, yang kebetulan porsinya kecil, kepada kontraktor spesialis. Nilai subkontrak adalah USD ( 100% ). Subkontraktor membuat method statement pekerjaan berdasarkan soil report yang disediakan Client, diantisipasi bahwa galian akan dilakukan dengan cutter suction dredger.
Dalam pelaksanaan kerja terjadi delay, karena ternyata mereka menemui hard soil. Berbeda dengan data kontrak, soil investigation baru yang dilakukan oleh pihak ketiga menunjukkan bahwa sebagian besar offshore pipeline trench berada di hard soil. Akibatnya Subkontraktor harus merubah metode kerja / peralatannya, floating backhoe dredger yang sedang beroperasi di negara lain mereka tarik untuk mengejar target waktu penyelesaian.
Sebagai akibat dari different site condition ini, biaya kerja subkontraktor berubah dari yang diantisipasi semula. Subkontraktor kemudian mengajukan claim sebesar USD (76%) dari nilai kontrak awal. Dalam usulan claim-nya, dijelaskan secara rinci mengenai kondisi kontrak, skenario awal, kondisi aktual yang ditemui, perubahan metode kerja, referensi klausul kontrak yang relevan, cost impact, dst.
Seandainya subkontraktor tidak melindungi dirinya dengan klausul different site condition, perbedaan data tanah ini bisa menjadi bencana catastrophic.
1.3 Massive Liquidated Damages
Liquidated Damages ( LD ) adalah denda yang harus dibayar oleh kontraktor jika mereka tidak dapat menyelesaikan pekerjaan pada waktunya.
Tergantung pada perjanjian kontraknya, umumnya besar LD dinyatakan dalam bentuk persentase dari nilai kontrak ( x % per week ) dan mempunyai batas maksimum ( y % dari nilai kontrak ). Besarnya denda keterlambatan ini sudah ditentukan sejak awal kontrak melalui klausul LD, sehingga nantinya Client tidak akan menuntut ganti rugi berdasar nilai aktual yang diderita. Dilihat dari sudut pandang ini, sebenarnya LD melindungi kontraktor dari resiko membayar ganti rugi yang terlalu besar.
Jika suatu kontrak menentukan LD sebesar 0.5% per minggu dengan batas maksimum 5% dari nilai kontrak, maka LD akan mencapai nilai maksimum setelah terjadi delay selama 10 minggu ( ~ 2.5 bulan ) atau lebih.
Batas LD maksimum 5% atau 10% dari nilai kontrak, sangat besar pengaruhnya bagi kontraktor. Biasanya kontraktor menambah persentase margin dalam penawaran tender sebagai proteksi terhadap resiko LD. Tapi seringkali dalam competitive bidding, kontraktor harus menekan rendah margin-nya agar tetap bisa bersaing.
Bagaimana jika draft kontrak menyebutkan nilai liquidated damages yang sangat besar ? Misalnya Client menghitung LD berdasar kehilangan potensi keuntungan produksi, sebesar USD 5 juta per hari, tanpa batas maksimum. Jika nilai kontraknya USD 300 juta dengan harapan margin proyek sebesar 10%, maka :
- dengan kelambatan 6 hari dari schedule, margin proyek akan habis untuk membayar LD ( kontraktor bekerja 2-3 tahun tanpa memperoleh laba ! ).
- dengan kelambatan 60 hari ( ~ 2 bulan ) dari schedule, kontraktor akan rugi besar karena income-nya habis untuk bayar LD.
Dalam pengaturan schedule, kadang ada kondisi dimana kontraktor akan tergantung pada pihak lain. Dalam proyek EPC misalnya, ada banyak equipment yang harus dipesan dari vendor . Kontraktor dapat mengendalikan sepenuhnya schedule dari pekerjaan Engineering - Procurement activities – Construction. Tapi untuk equipment delivery, kontraktor tidak mengendalikan secara langsung schedule kerja para vendor.
Massive liquidated damages adalah resiko yang terlalu besar.
2. Identifikasi Resiko yang Dapat Di-asuransi-kan
Asuransi adalah perlindungan terhadap resiko kerugian, yang ditanggung oleh perusahaan asuransi berdasarkan kondisi dan fee tertentu. Dalam dunia konstruksi, asuransi merupakan metode risk transfer yang paling sering digunakan. Banyak yang menganggap bahwa manajemen resiko identik dengan manajemen asuransi.
Perusahaan asuransi sendiri bekerja dengan mengumpulkan resiko dari banyak pelanggan. Dari sekian banyak resiko yang ditanggung, berdasar teori probabilitas, diharapkan hanya sebagian kecil dari resiko yang menjadi kenyataan.
Dalam kontrak, biasanya sudah diatur dengan jelas alokasi tanggung jawab asuransi antara Client dan Kontraktor. Umumnya Client akan mengasuransikan existing plant,
mengasuransikan pekerjaan proyek dan resiko terhadap pihak ketiga. Sedangkan kontraktor bertanggung jawab untuk mengasuransikan pekerja, kendaraan / penumpang serta equipment-nya.
3. Identifikasi Resiko yang Dapat Dialihkan ke Pihak Lain ( Non Insurance )
3.1 Transfer resiko ke Subkontraktor
Jika kontraktor tidak punya inhouse capability untuk melaksanakan pekerjaan tertentu, misalnya kontraktor M&E/I harus melaksanakan pekerjaan sipil, maka kondisi ini akan mengarah kepada
- resiko produktivitas tenaga kerja
- resiko kualitas pekerjaan
- resiko waktu penyelesaian, dst.
yang akhirnya akan berpengaruh pada biaya proyek.
Jalan keluar yang banyak ditempuh adalah dengan mentransfer pekerjaan beresiko tersebut kepada ahlinya, para kontraktor sipil, melalui mekanisme subkontrak.
3.2 Klausul antisipasi dalam kontrak
Dalam kontrak, ada klausul yang dicantumkan sebagai antisipasi jika resiko-resiko tertentu menjadi kenyataan. Resiko ini, walaupun telah teridentifikasi pada saat melakukan risk analysis, tidak diperhitungkan dalam penawaran tender karena uncertainty-nya sangat besar atau karena dampaknya tidak dapat diperkirakan.
Sebagai perlindungan, dalam kontrak dicantumkan klausul-klausul antisipasi, seperti :
- Klausul unforeseen ground condition / different site condition, untuk mengantisipasi jika kondisi tanah tidak sesuai data kontrak
- Klausul changes in the works, untuk mengantisipasi resiko perubahan scope kerja
- Klausul change in law, untuk mengantisipasi resiko perubahan kebijaksanaan pemerintah setelah penandatanganan kontrak.
Kontraktor disarankan untuk memastikan bahwa klausul-klausul antisipasi ini dicantumkan secara tertulis dalam kontrak. Kelak klausul-klausul ini akan menjadi dasar bagi Kontraktor untuk mengajukan proposal variation atau claim, jika resiko tersebut menjadi kenyataan.
Klausul Change in law
Pekerjaan proyek mengenal 2 peraturan / hukum :
�� perjanjian kontrak itu sendiri, dan
�� hukum negara ( law of the land ).
Hukum negara akan mengintervensi proyek dalam keadaan berikut :
1. Bila terjadi pelanggaran terhadap kontrak
dalam hal ini hukum negara akan mengenali perjanjian kontrak sebagai suatu hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak.
2. Dalam kasus tort / civil wrong doing
misalnya dalam kasus kecelakaan kerja atau kasus tuntutan dari pihak ketiga terhadap pelaksana proyek.
3. Jika negara atau badan negara yang berwenang, membuat keputusan / peraturan yang harus diterapkan ( dan mempengaruhi pelaksanaan proyek ).
Klausul kontrak mengenai perubahan kebijaksanaan pemerintah ( change in law ) mengacu pada kondisi item no. 3 di atas. Misalnya, setelah penandatanganan kontrak :
- Dept. PU mengeluarkan peraturan baru tentang tatacara perhitungan design konstruksi, dimana safety factor yang digunakan lebih tinggi dari yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibatnya, profil konstruksi jadi lebih besar, biaya material, biaya fabrikasi dan biaya konstruksi bertambah, dsb.
- Pemerintah mencabut subsidi BBM, sehingga harga BBM naik drastis diluar estimasi kenaikan harga berdasar angka inflasi.
Berikut contoh typical klausul kontrak tentang perubahan kebijakan pemerintah :
“Any changes in the laws, rules and regulations introduced by the Goverment of xxx after the effective date of this contract shall, where applicable, be implemented by Contractor.
Should these changes affect the execution and / or cost of the works in any way, the affected party shall be entitled to initiate a Variation Order in accordance with provisions of article xxx ( Changes in the Works )”
4. Identifikasi Resiko yang Akan Ditanggung oleh Kontraktor
Setelah meng-identifikasi dan meng-alokasikan berbagai resiko ( risk avoidance & risk transfer ), maka kontraktor akan sampai pada resiko-resiko yang harus mereka tanggung selama pelaksanaan proyek.
Berdasarkan tingkat pengendaliannya, dikenal dua kategori resiko :
a. Resiko yang sepenuhnya dibawah kendali Kontraktor, contoh :
- estimasi quantity pekerjaan dan harga penawaran tender
- pekerjaan design
- produktivitas tenaga kerja
- pekerjaan konstruksi
- planning dan pelaksanaan kerja
- dst.
b. Resiko yang tidak sepenuhnya dibawah kendali Kontraktor, contoh :
- keterlambatan pengiriman equipment dari vendor
- kegagalan alat / sistem
- kelangkaan sumber daya ( material, tenaga kerja )
- masalah ekonomi ( inflasi, perubahan kurs mata uang asing, kenaikan harga )
- dst.
Berdasar keahlian dan pengalamannya, Kontraktor akan menyiapkan langkah-langkah antisipasi & pengendalian agar dampak dari resiko-resiko tersebut dapat ditekan serendah mungkin. Penerapan dari rencana pengendalian ini akan menjadi tanggung jawab dari project management team selama pelaksanaan proyek.
Penutup
Dalam menyusun proposal tender, Kontraktor akan :
- membuat estimasi biaya / waktu pekerjaan berdasarkan pada scope of work, time schedule dan contract conditions sebagaimana diatur dalam dokumen tender.
- melakukan analisa resiko yang berkaitan dengan kondisi kontrak dan kegiatan proyek.
- memasukkan contingency biaya / waktu dalam penawaran tender, sebagai perlindungan terhadap resiko-resiko pekerjaan
- mempersiapkan rencana penanggulangan, monitoring dan kontrol untuk meminimalkan dampak dari resiko pekerjaan.
Uraian diatas memberi gambaran tentang pola kerja dan kehati-hatian kontraktor dalam menyusun proposal tender. Dengan pengaturan yang baik mengenai pembagian tanggung jawab, alokasi resiko dan alokasi asuransi antara Client - Kontraktor, diharapkan akan didapat kondisi kontrak yang fair bagi kedua pihak.
Reference :
- Project Management Institute : “Project Management Body of Knowledge - 2004 ; Chapter 11 - Project Risk Management”
- Mark Tiggeman : “Tender Preparation Strategies, The Contractor’s Perspective”
- Jamal F. Bahar : “EPC Contract Administration“
- Parsons E&C Group, “Presentation : Management of Thermoelectric Project, EPC-LSTK Risks”