Kamis, 19 Maret 2009

Menyusur Jejak Budaya Geografi Kelautan Nusantara

Buana Katulistiwa- Budaya kelautan Nusantara mengalami era gelombang revolusi pelayaran dunia. Nusantara sebagai archipelagic state secara geografis sangat terbuka dari segala penjuru arah untuk menerima atau mengirimkan kebudayaan melalui laut, inilah yang merupakan latar budaya keterbukaan bangsa-bangsa di Nusantara.

Melalui budaya pelayaran terjalinlah awal komunikasi dan informasi antar dan interwilayah geografis Nusantara atau tumbuhnya benih integrasi bangsa Indonesia. Pelayaran juga sebagai dinamisator budaya pembangunan kota-kota pesisir. Revolusi pelayaran dunia lima abad yang lalu tetapi di Indonesia masih dapat ditemukan komunitas adat terpencil yang bertahan di laut Indonesia.

Jatuhnya Konstantinopel

Era baru hubungan Barat-Timur melalui Laut semakin semarak semenjak berhasilnya bangsa Turki Usmani di bawah pemerintahan Sultan Muhammad II merebut Konstantinopel 1453. Nusantara menjadi pilihan pelayaran bangsa Barat untuk mencari the new land. Misi yang mendorong hingga sampai di lautan Nusantara selain dorongan pemenuhan kebutuhan akan rempah-rempah yang sebelumnya lebih banyak melalui jalur yang saat itu sudah dikuasai Turki.

Pelayaran bangsa Barat melalui jalur pelayaran lain hingga sampai Nusantara pada abad 16 disertai misi mencari langsung asal komoditas rempah-rempah, menggerakkan kembali roda perekonomian negara masing-masing dan juga mengemban misi penyebaran Agama. Meskipun pada akhirnya yang terjadi adalah praktek-praktek monopoli perdagangan, penguasaan atau pendudukan dalam bentuk penjajahan. Bahkan pada akhirnya menimbulkan perlawanan di setiap wilayah yang disinggahinya.

Bangsa-bangsa di Nusantara waktu itu sudah memiliki tatanan kehidupannya sendiri-sendiri. Dan pada prinsipnya sangat terbuka dan kooperatif kepada pendatang baru. Hal ini banyak dibuktikan dengan keberadaan fakta bahwa terjadinya akulturasi dan asimilasi antara budaya lokal dengan budaya pendatang. Mulai dari pesisir terbarat - pesisir di Malaka - pesisir Banten - pesisir Jawa - pesisir Kalimantan - pesisir Sulawesi - pesisir Maluku, Nusa Tenggara hingga pesisir Papua (Irian Jaya) dan berbagai pesisir di ribuan pulau-pulau yang tersebar di Nusantara.

Bentuk-bentuk bukti tersebut dapat dikenali dalam berbagai ciri. Ada yang bercirikan sebagai bangunan pendukung pelayaran (menara-menara suar, triangulasi-triangulasi, pelabuhan-pelabuhan pendaratan, perbengkelan perahu dan kapal dll). Ada yang mencirikan bangunan peribadatan ; Candi (Hindu Budha, India), Masjid (Islam, Timur Tengah), Klenteng (Khonghucu, China), Gereja (Nasrani, Eropa). Ada yang mencirikan bangunan sarana perdagangan rempahrempah (pergudangan, pertokoan, kongsikongsi, penginapan dan lain-lain).

Budaya komunikasi

Sepanjang perjalanan pertautan sejarah budaya bangsabangsa melalui budaya pelayaran kelautan Nusantara sudah banyak mempengaruhi budaya Nusantara sendiri. Budaya bangsa luar memasuki gerbanggerbang pelayaran nusantara baik secara sengaja maupun tidak sengaja merubah prilaku pelayar-pelayar lokal dalam bentuk tukar menukar keahlian pelayaran, teknologi pelayaran, pertukaran informasi geografis yang lebih luas (mendunia).

Kemampuan perkembangan teknologi pelayaran yang berkembang pada awalnya sangat mengandalkan kondisi penguasaan astronomis sederhana, kondisi geografis perairan dan kondisi angin/iklim serta karena negeri asalnya berjarak ribuan kilometer berkonsekuensi dengan kapasitas penyediaan bahan makanan perjalanan serta komoditas perdagangan yang dibawa sangat terbatas selain daya tahan pelayarpelayarnya dan bahan bangunan kapalnya.

Hal ini mengakibatkan perubahanperubahan baru di lokasilokasi yang mengharuskan pelayaran melakukan persinggahanpersinggahan untuk kepentingan keselamatan, pengisian bekal makanan maupun obatobatan, perbaikan kapal dll. Sekalian dengan proses persinggahan tersebut mereka memperdagangkan komoditas yang terbawa dari persinggahan sebelumnya dan membawa komoditas yang dapat dibawa dari persinggahan terakhir untuk diperdagangkan ke persinggahan berikutnya.

Oleh karena itu pada saat-saat persinggahan cukup memakan waktu yang lama, disinilah terjadi akulturasi budaya yang lebih dalam. Baik antar pelaut nusantara maupun pelaut nusantara dengan pelaut asing. Dapat dikatakan juga proses terjalinnya komunikasi informasi melalui media pelayaran tersebut. Dimana saat ini komunikasi informasi sudah melalui media teknologi satelit.

Perkembangan kota pesisir

Bukti-bukti yang tidak dapat dielakkan adalah pertumbuhan lokasi-lokasi persinggahan secara geografis tumbuh menjadi perkotaan lebih cepat dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang jarang disinggahi atau hanya sebagai lokasi lintasan pelayaran saja. Inilah proses pertumbuhan baik kota-kota di pantai Selat Malaka, pantai utara Jawa dan lainnya.

Selain itu dari struktur kotanyapun menunjukkan ciri dari tingkat fluktuasi pelayaran dari bangsabangsa tertentu, bagi persinggahan yang sering oleh budaya pelayar dari India bisa tumbuh ditandai dengan struktur yang mencirikan Hindu Budha, bagi persinggahan yang sering dikunjungi oleh pelayarpelayar muslim pada akhirnya elemen struktur kotanyapun mencirikan keberadaan ciri dunia Muslim dan seterusnya.

Secara hipotetis jika kita mengambil analogi perkembangan perkotaan di pesisir Jawa pada masa klasik dimana yang lebih berkembang adalah lokasi-lokasi persinggahan para penunggang kuda saat itu atau menunjukkan kapasitas kekuatan kuda menempuh jarak optimal untuk istirahat kembali, maka dapat juga disimpulkan bahwa kapasitas atau kemampuan pelayaran pada saat setelah tumbangnya Konstantinopel dapat disimpulkan secara geografis jarak masingmasing kotakota besar yang tumbuh sekarang berawal dari peradaban budaya pelayaran kelautan saat itu. Meskipun hal ini perlu penelitian lebih lanjut sebagai studi kawasan global pelayaran Nusantara.

Dan pada saat ini beberapa komunitas sosial tersebut masih masuk dalam kategori komunitas adat terpencil, yang menurut departemen sosial merupakan target komunitas yang akan mendapatkan pemberdayaan melalui pola operasional pembangunan pembukaan akses ke masyarakat pada umumnya di wilayah Indonesia ini. Sebagai alasan, departemen sosial RI menjalankan deklarasi PBB tahun 2000 yang salah satu pointnya yaitu penyetaraan keadilan untuk mendapatkan akses pembangunan bagi umat manusia di dunia ini.

Dari sisi geografis lain bahwa luasnya wilayah lautan Nusantara, banyaknya pulau-pulau kecil yang dihuni saat itu, beragamnya komunitas sosial pesisir di sepanjang pulaupulau besar menunjukkan sebagian hanya tersentuh sedikit budaya pelayaran perdagangan dunia atau tidak sedikit yang masih menunjukkan budaya pelayaran lokal yang memiliki ciri spesifik sebagai budaya pelayaran bangsabangsa laut asli Nusantara.

Budaya pelayar lokal tersebut eksis dengan budayanya hingga saat ini, komunitas tersebut memiliki budaya perilaku ketergantungan terhadap sumber daya laut di sekitar pesisir dengan teknologi perahu yang spesifik yang kemampuan jarak tempuhnya dekat dalam waktu tempuh harian untuk menangkap ikan-ikan palagis kecil. Dengan alat penangkapan yang memiliki kekhususan dari alat penagkapan wilayah pesisir lain. Dan tidak jarang mereka beradaptasi melalui alat tangkapnya (pancing, jaring dan lainnya) untuk mendapatkan jenis fauna pesisir yang secara geografis juga berbeda dengan wilayah laut lain. (tq)

Dikutip dari: http://www.geografiana.com/nasional/budaya/budaya-geografi-kelautan-nusantara

Tidak ada komentar: