pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.
Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.
Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.
Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.
Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.
Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar